Minggu, 15 April 2012

KETAHANAN SOSIAL



KETAHANAN SOSIAL 

Pendahuluan 

Pengembangan indikator ketahanan sosial sudah dimulai oleh BPS, semenjak terbentuknya Direktorat Statistik Ketahanan Sosial. Ketidakjelasan kerangka konseptual atau model struktur analisis, mengakibatkan luasnya cakupan indikator Ketahanan Sosial yang meliputi geografi, demografi, ekonomi, lingkungan, ketenagakerjaan, pendidikan, kesehatan, sosial budaya dan politik keamanan. Nampaknya indikator-indikator tersebut lebih tepat diposisikan sebagai Indikator Ketahanan Nasional. 

Selanjutnya, BPS sedang mengkaji ulang penyusunan Statistik Ketahanan Sosial. Landasan berpikir yang digunakan antara lain : 

- adanya pembobotan baru statistik sosial yang juga akan memuat data proses sosial,
- kemampuan bertahan di tingkat sistem lokal dalam arus globalisasi dan desentralisasi,
- ketahanan sosial sebagai akhir dinamika interaksi global/ lokal.

Berdasarkan tulisan Betke (2002) tentang Statitistik Ketahanan Sosial : Menuju Operasionalisasi Konsep Baru dalam Bidang Statistik Sosial dijelaskan perihal dimensi-dimensi ‘outcomes’ dari proses integrasi / transisi dan reaksi dinamika dalam organisasi sosial yang dialami oleh sistem sosial setempat, sementara dirumuskan sebagai berikut: 

1. Tingkat perlindungan yang dialami oleh manusia rentan (misal : penduduk yang berusia lanjut, para anak, para perempuan, para orang cacat)
2. Tingkat dukungan yang dinikmati oleh individu atau kelompok yang kurang mampu (fakir/ keluarga miskin, orang tua cerai/ duda/ janda, anak terlantar, warga usia lanjut berserta orang cacat yang terlantar)
3. Tingkat partisipasi dalam bidang sosial-politik yang dapat diwujudkan oleh individu, kelompok dan keluarga
4. Tingkat pengendalian sosial (social control) terhadap kekerasan (domestik, di dalam komunitas, di antara kelompok etnis dan budaya)
5. Tingkat pemeliharaan/ kelestarian dalam pemanfaatan sumberdaya alam sebagai dasar mata pencaharian lokal.

Secara sederhana, ketahanan sosial suatu komunitas seringa dikaitkan dengan kemampuan dalam mengatasi resiko akibat perubahan sosial, ekonomi, politik yang mengelilinginya (Betke, 2002). Suatu komuniti memiliki ketahanan sosial bila pertama, ia mampu melindungi secara efektif anggotanya termasuk individu dan keluarga yang rentan dari gelombang perubaha sosial yang mempengaruhinya; kedua, mampu melakukan investasi sosial dalam jaringan sosial yang menguntungkan; dan ketiga, mampu mengembangkan mekanisme yang efektif dalam mengelola konflik dan kekerasan (dalam Rochman Achwan tentang Ketahanan Sosial Komuniti di Indonesia : beberapa Catatan Empiris). Kedua makalah ini disajikan dalam Diskusi Pakar : Membangun Konsepsi dan Strategi Ketahanan Sosial di Departemen Sosial tanggal 7 Oktober 2002. 

Selain makalah tersebut disajikan juga makalah Bambang Shergi tentang Indikator Ketahanan Sosial dan Kasus Sistem Informasi Geografis Pembangunan Sosial di DKI Jakarta, dengan pembahas Harry Hikmat yang menyajikan makalah pembanding tentang Ketahanan Sosial (Konsep, Konstruks dan Indikator).
Berdasarkan kajian awal tersebut, selanjutnya dibutuhkan rekonstruksi model struktur analisis dan identifikasi indikator ketahanan sosial dalam konteks pembangunan kesejahteraan sosial.

Landasan berpikir pengembangan indikator ketahanan sosial dalam konteks pembangunan kesejahteraan sosial dan peran institusi 

Keberadaan Pusat Pengembangan Ketahanan Sosial Masyarakat (PPKSM) di lingkungan Departemen Sosial akan memberikan peluang untuk memberdayakan Pranata Sosial dalam pembangunan kesejahteraan sosia.
"Pranata sosial diartikan sebagai sistem tingkah laku sosial yang bersifat resmi serta adat istiadat dan norma yang mengatur tingkah laku itu, dan seluruh perlengkapannya, guna memenuhi berbagai kompleks kebutuhan manusia dalam masyarakat (Kamus Besar Bahasa Indonesia)."
Sasaran pengembangan kebijakan, strategi dan program pembangunan kesejahteraan sosial selama ini bertumpu pada sasaran individu, keluarga dan komunitas yang dikategorikan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) dan Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS). Kehadiran PPKSM memberikan peluang untuk semakin dipahaminya adanya sistem tingkah laku, adat istiadat dan norma yang telah mengakar dan tetap terpelihara di masyarakat, serta terbukti telah memperkuat ketahanan sosial masyarakat dalam mencegah terjadinya masalah sosial, menanggulangi masalah sosial, dan melindungi kelompok rentan dilingkungannya. Hal ini berarti strategi pemberdayaan masyarakat akan semakin nyata dapat direalisasikan.
Untuk itu, diperlukan pemetaan hubungan antar konsep yang dapat memudahkan memahami posisi strategis ketahanan sosial masyarakat. Berikut disajikan model strategis pembangunan kesejahteraan sosial yang berkelanjutan.

Hubungan antara pembangunan kesejahteraan sosial dengan ketahanan sosial 

Sasaran pembangunan kesejahteraan sosial yang bertumpu pada pemberdayaan masyarakat, adalah individu, keluarga dan komunitas memungkinkan untuk melakukan tindakan/ aksi dalam meningkatkan kualitas hidup dan kemaslahatannya (quality of life and wellbeing). Oleh karena itu, penggunaan strategi pemberdayaan masyarakat dalam program pembangunan kesejahteraan sosial mempunyai implikasi agar setiap kegiatan yang diciptakan bertumpu pada proses yang sifatnya partisipatif (terakomodasinya aspirasi, terbuka pilihan-pilihan dan terlibatnya semua komponen masyarakat/stakeholders). Kondisi ini dapat ditunjukkan dengan indikator aktualisasi diri dan koaktualisasi eksistensi masyarakat. 

Aktualisasi diri
- ekspresi diri setiap anggota masyarakat dalam proses pengambilan keputusan, baik pada tahap dialog, penemuan dan pengembangan untuk program selanjutnya
- internalisasi penilaian yang merupakan hasil ekspresi diri yang dihargai dan dijadikan pertimbangan keputusan kelompok 

Koaktualisasi eksistensi
Gejala-gejala perilaku yang menunjukkan bahwa adanya aktualisasi bersama dalam kelompok/ komunitas/ masyarakat yang berimplikasi pada eksistensi kelompok/ komunitas/ masyarakat dalam mengatasi masalah-masalah soisal di lingkungannya.

Walaupun demikian, pemenuhan seluruh kebutuhan masyarakat untuk peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan sosial tidak dapat sepenuhnya dibebankan kepada masyarakat. Pemenuhan kebutuhan dasar (terutama pendidikan dasar, pelayanan kesehatan dasar dan pelayanan kesejahteraan sosial) selayaknya merupakan kewajiban pemerintah; karena masyarakat juga telah dibebankan membayar pajak baik secara individu maupun melalui korporasi tempat bekerja. Pada kenyataannya, pada masyarakat mana pun, selalu ada yang individu keluarga, kelompok atau komunitas yang miskin, rentan atau mengalami masalah sosial karena memiliki hambatan fungsi sosial (disfungsi fisik, mental, sosial budaya, psikologis, ekonomi, geografis), yang pada akhirnya harus diatasi melalui program-program pembangunan yang ditujukan kepada warga masyarakat yang dikategorikan kurang beruntung tersebut, termasuk PMKS yang sudah dikenal selama ini. 

Oleh karena itu, diberbagai negara telah dikenal skema/ kebijakan publik formal (formal public schemes) yang dikelola oleh pemerintah yang mencakup Kebijakan Subsidi Konsumen (consumers subsidies) dan Jaminan Sosial (social security). Kebijakan subsidi saat ini yang sedang berjalan dalam bentuk program kompensasi BBM.

Adapun sistem jaminan sosial mencakup program asuransi sosial (social insurance) dan bantuan sosial (social assistance). Kegiatan ‘bantuan sosial’ ini sudah banyak dilakukan oleh Departemen Sosial, walaupun ‘bantuan sosial’ yang dimaksud masih sifatnya charity. Adapun asurasi sosial, sudah diujicobakan dalam bentuk program Asuransi Kesejahteraan Sosial. Semua pembiayaan tersebut didanai dari redistribusi pendapatan negara, melalui skema APBN / APBD.
Diantara proses pemberdayaan dan sistem jaminan sosial, terdapat strategi peningkatan inklusi sosial, yang dapat diartikan kemampuan untuk aksesibilitas terhadap sumber pelayanan sosial. Dalam pekerjaan sosial, peran pekerja sosial menjadi Pemungkin (enabler) ditujukan dalam rangka peningkatan inklusi sosial. 4
Pemberdayaan sosial, inklusi sosial dan jaminan sosial, merupakan dimensi-dimensi pembangunan sosial (dalam pengertian terbatas menjadi dimensi pembangunan kesejahteraan sosial) dalam rangka membantu masyarakat secara lebih adil, efisien dan berkelanjutan (help make societies more equitable, efficient and sustainable).
Peran dan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat secara proporsional dan jelas posisinya, akan menghasilkan sistem perlindungan sosial (social protection) sebagai basis dalam pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development) . Untuk membuat agar pembangunan dapat berkelanjutan, maka 3 (tiga) persyaratan utama, yaitu : 

1. Pembangunan harus responsif (social responsive) terhadap kebutuhan dan aspirasi masyarakat miskin
Tindakan:
- Tidak masa bodoh terhadap permasalahan yang dialami penduduk miskin
- Reaksi cepat terhadap gejala degradasi, habisnya sumber daya dan bencana sosial, karenapenduduk miskin paling menderita
- Deteksi dini terhadap permasalahan yang berkembang di masyarakat
- Membangun kelembagaan yang efektif dalam pemberdayaan, jaminan dan inklusi sosial. 

2. Pembangunan harus dapat diandalkan (social reliable) yang ditunjukkan oleh penyelenggaraan yang efisien dari apa yang diharapkan dengan dibangunnya modal sosial.
Tindakan:
- Community-driven development
- Akuntabilitas sosial dan lingkungan
- Pendekatan terpadu untuk analisis sosial dan lingkungan
- Kelembagaan yang efektif dan bertanggungjawab (akuntabilitas publik) 

3. Pembangunan harus melahirkan masyarakat yang mempunyai ketahanan sosial (social resilient) terhadap situasi yang berisiko, goncangan (schocks), darurat, krisis, tekanan sosial budaya, ekonomi dan politik.
Tindakan:
- Pendekatan terpadu untuk analisis sosial, ekonomi, lingkungan dan pemecahan masalah (termasuk pengembangan indikator sosial).
- Manajemen resiko sosial (termasuk manajemen konflik)

Manajemen resiko sosial nasional 

Sistem perlindungan sosial dalam kondisi negara sedang mengalami krisis ekonomi, dikembangkan program penyesuaian struktural (SAPs), asuransi sosial (SI) dan jaring pengaman sosial (SSN). Pada masa yang akan datang, setiap negara harus mempunyai Manajemen Resiko Sosial Nasional (National Social Risk Management). Dalam konteks inilah PPKSM sebagai salah satu institusi negara menjadi strategis untuk mengembangkan instrumen-instrumen negara dalam mengelola resiko yang diperkirakan akan dihadapi bangsa dan negara. 6

Sistem perlindungan sosial dalam konteks manajemen resiko sosial menekankan peran ganda dari instrumen managemen resiko :
- pemenuhan kebutuhan dasar terutama kepada penduduk miskin
- secara gradual dapat mengatasi masalah kemiskinan yang kronis 

Pentingnya Indikator Ketahanan Sosial 

Berdasarkan diskusi di atas, maka pengembangan kebijakan, strategi dan program serta indikator ketahanan sosial menjadi penting dan strategis, dengan alasan: 

1. Ketahanan sosial merupakan salah satu indikator dari pembangunan yang berkelanjutan
2. Ketahanan sosial merupakan salah satu dampak yang diharapkan dari program perlindungan sosial yang dikelola oleh pemerintah (formal public schemes) dan masyarakat (traditional or informal private or community based schemens)
3. Ketahanan sosial merupakan salah satu sub sistem dalam hubungan kontingensi (interaksi antar sub sistem makro, meso dan mikro) dalam sistem pembangunan nasional.
4. Ketahanan sosial dapat diuji hubungan kausalitasnya diantara : (1) ketahanan sosial (dependent variabel); (2) pemberdayaan masyarakat, inklusi sosial dan jaminan sosial (intervening variabel) dan (3) penguatan modal sosial (independet variable).
5. Kontributor positif dan negatif terhadap ketahanan sosial masyarakat adalah kondisi kualitas hidup dan kesejahteraan penduduk miskin, rentan dan marginal (termasuk yang dikategorikan PMKS).
6. Ketidaktahanan sosial yang paling parah dapat ditunjukkan oleh kondisi kemiskinan kronis (fakir miskin dan penyadang masalah sosial) yang merupakan sasaran utama Pembangunan Kesejahteraan Sosial.

Indikator Ketahanan Sosial dalam konteks Pembangunan Kesejahteraan Sosial 

Kemiskinan kronis (chronic poverty) ditunjukkan oleh situasi individu menjadi miskin akibat faktor masalah struktural yang berlangsung lama. Kemiskinan sementara (transient poverty), adalah situasi dimana individu menjadi miskin disebabkan oleh goncangan yang sifatnya temporer (misal bencana alam, kerusuhan sosial, kebakaran, dll.). Kemiskinan sementara jika tidak diatasi secara serius akan menjadi kemiskinan kronis. 

Kemiskinan kronis adalah kelompok yang paling menderita jika terjadi goncangan, situasi darurat atau konflik. Oleh karena itu indikator ketahanan sosial yang bersifat komposit (agregate dari beberapa komponen indikator) dapat ditunjukkan oleh Indeks Kemiskinan Manusia (Human Poverty Indeks). Secara sektoral di Indonesia dapat ditunjukkan dengan Persentase Penduduk Miskin dan Sangat Miskin (Fakir Miskin). Penelitian yang ditujukan untuk mengetahui kondisi penduduk miskin selama masa krisis berlangsung, merupakan upaya untuk mengetahui tingkat ketahanan sosial yang terjadi pada penduduk miskin. Secara international disepakatinya Indeks Kemiskinan Manusia (UNDP, 2000) dapat merupakan petunjuk terhadap daya tahan penduduk miskin ketika menghadapi goncangan/ krisis. 

Dalam pengembangan indikator, tidak terbatas pada indikator yang sifatnya objektif, tetapi juga dapat bersifat subjektif, sesuai dengan hakekat manusia. Oleh karena itu, indikator lain yang secara umum dapat menunjukkan kondisi ketidaktahanan sosial sosial masyarakat yaitu: 

- perilaku sosial anti sosial (berontak, provokator, anti kemapanan, terlibat teroris)
- sindrom kelemahan moral (korupsi, manipulasi, penipuan, nepotisme dan kronisme)
- amoral (ketagihan NAPZA, seks bebas dan kenakalan remaja)
- sindrom mediokriti (sikap tidak apa, rendah daya saing dan daya tahan),
- percaya kepada tahyul
- tindak kriminal
- depresi, stress, dan psikotik
- kekerasan sosial (perkelahian masa antara kampung, tawuran antar pelajar)
- kematian (bunuh diri, membunuh atau saling membunuh).

Dari berbagai hasil penelitian data kemiskinan kronis (dengan indikator Indeks Kemiskinan Manusia) berkorelasi positif dengan ketidaktahanan sosial (indeks kualitatif). Oleh karena itu, pembangunan kesejahteraan sosial pada hakekatnya bertumpu pada pencapaian tujuan (goals) sebagai berikut: 

-   Meningkatkan kualitas hidup dan taraf kesejahteraan PMKS (quality of life & well-being)
- Keberdayaan dan ketahanan keluarga dan masyarakat dalam mencegah berkembangnya PMKS, mengatasi PMKS di lingkungan sekitarnya dan melindungi kelompok rentan, serta memajukan pemenuhan hak-hak asasi warganya

Dalam konteks program peningkatan ketahanan sosial, dapat dirinci tujuan-tujuan yang akan dicapai antara lain: 

1. Mendeteksi secara dini terhadap permasalahan sosial yang berkembang di masyarakat
Indikator:
- Jumlah dan perkembangan masalah sosial “baru”
- Peningkatan kompleksitas permasalahan sosial (analisis karakteristik sosial ekonomi PMKS)


2. Mencegah agar tidak terjadi kemiskinan sementara menjadi kemiskinan kronis,
Indikator ::
- Laju pertumbuhan PMKS
- Jumlah PMKS ‘baru” yang tidak teratasi
- BPS : Tingkat perlindungan yang dialami kelompok rentan (lansia, anak, perempuan, paca) 

3. Mengatasi masalah kemiskinan dan masalah sosial lainnya melalui pemberdayaan dan pendayagunaan modal sosial
Indikator:
- Aktualisasi diri
- Koaktualisasi eksistensi
- Potensi yang didayagunakan sebagai sumber pelayanan kesejahteraan sosial
- BPS : Tingkat partisipasi individu, keluarga, dan kelompok
- BPS : Tingkat pemeliharaan / kelestarian dalam pemanfaatan sumber daya alam sebagai dasar mata pencaharian 

4. Melindungi kelompok rentan (anak, wanita, cacat, lansia) agar tidak terpuruk menjadi penyandang masalah sosial melalui peningkatan aksesibilitas pelayanan sosial dasar.
Indikator:
- aksesibilitas kelompok rentan terhadap pelayanan sosial dasar
- BPS : tingkat dukungan yang dinikmati oleh individu, keluarga dan kelompok yang kurang mampu (fakir / keluarga miskin, orang tua cerai/ duda/ janda, anak terlantar, warga usia lanjut berserta orang cacat terlantar) 

5. Memperkuat kelembagaan sosial tradisional dan private agar mempunyai reaksi cepat terhadap gejala degradasi, habisnya sumber daya dan bencana sosial (Community-driven development)
Indikator:
- Peran Organisasi Sosial/ LSM lokal (arisan, rukun kampung, koperasi non KUS, simpan pinjam, guyub rukun, sumbangan sosial, sambatan, kumpulan keagamaan) dalam menangani PMKS yang berisiko
- Tingkat kepedulian sosial
- Ketersediaan sumber daya sosial berbasis masyarakat (dana, relawan sosial, sarana prasarana)
- BPS : Tingkat pengendalian sosial terhadap kekerasan (domestik, di dalam komunitas, di antara kelompok etnis dan budaya) 

6. Memperkuat kelembagaan sosial tradisional dan private yang efektif agar berperan aktif dalam pemberdayaan masyarakat, peningkatan aksesibilitas masyarakat terhadap sistem pelayanan sosial dasar dan jaminan sosial.
Indikator :
- Kapasitas kelembagaan sosial tradisional dan private dalam pemberdayaan masyarakat, peningkatan aksesisbilitas dan jaminan sosial

Indikator di atas, lebih mencerminkan estimasi atau proyeksi kondisi secara makro, pada tataran operasional dapat dikembangkan indikator individu, keluarga dan komunitas yang menjadi sasaran program pembangunan kesejahteraan sosial, dengan menggunakan kata-kata kunci (key words): 

Ulet : tidak mudah putus asa yang disertai kemauan keras dalam berusaha mencapai tujuan dan cita-cita, serta tidak mudah menyerah dalam menghadapi tantangan perubahan
Mampu : sanggup, cakap, kuat
Kuat : teguh, kuasa, tenaga, gaya
Daya guna : efisien, mendatangkan hasil dan manfaat
mempertahankan harga diri
cukup (sampai atau hingga)
tetap keadaannya meskipun mengalami berbagai-bagai hal,
kuat atau sanggup menderita (menanggung) sesuatu,
dapat menyabarkan (menguasai) diri,
tidak lekas rusak/ berubah,
tidak lekas marah
tetap teguh hati
sanggup dan tidak lekas merasa kasihan,
sudah terbukti kebaikannya (mutunya, kekuatannya),
berani diuji,
sanggup diuji


Kepustakaan 

Betke. 2002. tentang Statitistik Ketahanan Sosial : Menuju Operasionalisasi Konsep Baru dalam Bidang Statistik Sosial (makalah diskusi pakar Depsos)
Carley,M. 1990. Social Measurement and Social Indicators, London: George Allen & Unwin
Carlishe’s,E. 1972. The Conceptual Structure of Social Indicators, in Shofied,A.& Shaww, S. (ed.). Social Indicators and Social Policy, London: Heinman Educational Books.
Harry Hikmat. 1996. Pengembangan Indikator Kesejahteraan Sosial, (materi kuliah pasca Kesos UI ). Jakarta : Universitas Indonesia.
Harry Hikmat. 1999. Indikator Kesejahteraan Sosial (materi latihan perencanaan S3CB Bappenas)
Harry Hikmat. 2001. Strategi Pemberdayaan Masyarakat. Bandung : Humaniora Utama Press.
Harry Hikmat. 2002. Ketahanan Sosial : Konsep, Konstruks dan Indikator (makalah diskusi pakar Depsos)
Rochman Achwan. 2002. Ketahanan Sosial Komuniti di Indonesia : beberapa Catatan Empiris (makalah diskusi pakar Depsos).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar